Senin, 23 Februari 2015

BERYADNYA PADA KONTEK MASA GRASTHA DALAM CATUR ASRAMA



BERYADNYA PADA KONTEK MASA GRASTHA DALAM CATUR ASRAMA

Om swastyastu.
Om Awigna Astu namo sidham, Om Sidhirrastu Tad Astu astu Svaha.
Om Ano Bhadrah Krawo Yantu Wiswatah.
Om Hyang Widhi wasa, semoga atas perkenanMu tiada suatu halangan bagi kami memulai menulis ini semoga sukses dan semoga pikiran baik datang dari segala penjuru pada kami.
Pertama – tama marilah kita menghaturkan puja dan puji syukur kehadapan Ida Sang HyangWidhi Wasa karena Atas Asungkerta waranugrhaNya, kita semua telah diberi kesehatan,kekuatan lahir dan batin tak kurang suatu apapun. Astungkara. Secara umum yadnya diartikan sebagai pengorbanan yang dilakukan secara tulus dan ikhlas. Apapun bentuk pengorbanan itu, itulah yadnya. Pengertian ini begitu luas dan memang sejalan dengan yadnya itu yang juga begitu luas.
Pemahaman yang berkembang selama ini tentang yadnya adalah untuk menyatakan berbagai bentuk ritual. Bila ada yang melaksanakan upacara perkawinan, dikatakan sedang me-yadnya. Bila ada yang melaksanakan piodalan dikatakan sedang melaksanakan yadnya. Pemahaman itu tidak salah dan memang begitu. Hanya perlu digarisbawahi bahwa pemahaman itu mengalami penyempitan makna.
Mengapa dikatakan dipersempit? Ya, karena makna yadnya itu demikian luas. Malahan cinta kasih Sang Hyang Widhi dalam menciptakan alam semesta ini dikatakan sebagai yadnya, seperti disebutkan dalam Yajur Weda Mantram XXIII.62
“Ayam yajno bhuvanasya nabhih”. Yadnya adalah pusat terciptanya alam semesta.
Kemudian pada Atharwa Weda yadnya dikatakan sebagai salah satu unsur kekuatan yang menyangga bumi, yakni Mantram XX1.1
“Satyam brhta rtam ugram diksa tapo, brahma yajna prhtivim dharayanti”. Kebenaran, hukum abadi yang agung, penyucian, pengendalian diri, dan yadnya, inilah yang menyangga bumi ini.
Masih banyak lagi sloka di dalam catur Weda yang menjelaskan keuniversalan dan keluasan makna yadnya. Demikian pula dalam pancama Weda (Bhagawadgita), tak kalah banyaknya sloka yang menyiratkan bahwa yadnya itu begitu luas. Sudah saatnya kita menggali semua makna itu disertai harapan secara perlahan-lahan kita coba aplikasikan.
Mari kita tinjau bentuk yadnya apa saja yang ada dalam masa Grastha?
Masa Grastha ini dianggap sebagai masa yang paling kompleks. Kompleks permasalahannya, kompleks tanggung jawabnya, kompleks juga kewajibannya.
Mengapa demikian? Ya. Karena pada masa grahasta, seseorang sudah harus mengurus orang lain, dalam arti orang selain dirinya sendiri. Orang lain itu adalah pasangan hidupnya (suami/istri), anaknya. Pada masa grastha ini seseorang sudah dituntut untuk bermasyarakat. Jadi tanggung jawabnya sudah multi arah (vertikal dan horizontal).
Bagi kita umat Hindu tanggung jawab yadnya masa grhasta meliputi kelima yadnya yang dipersyaratkan. Yadnya kepada Sang Hyang Widhi (Dewayadnya). Sepenuh jiwa kita berpasrah di utama mandala saat sembahyang di Pura, dan juga pada saat-saat penyiapan berbagai sarana upakara ini yang dilakukan di madya dan nista mandala.
 Dalam istilah khusus ngayah makna yadnya diterjemahkan oleh kita semua. Prosesi ngayah ini menerjemahkan makna yadnya secara khas. Kita sudah memaknainya dalam praktik, bahwa dalam ngayah kita sudah beryadnya tanpa ada kepentingan apa pun, kecuali mewujudkan rasa bhakti kita kepada Ida Sang Hyang Widhi. Dalam yadnya dan dalam ngayah kita tak pernah berpamrih apa-apa. Kita hanya berbuat, berbuat. dan berbuat secara bersama-sama. Saling mengisi, saling memberi, saling mengajari dalam pembuatan sarana upakara. Semua itu dilakukan secara lascarya dan setulus-tulusnya. Tidak ada di antara kita yang berharap balasan dalam ngayah.
Semua yang kita praktikkan dalam ngayah dan yadnya itu sudah sangat pas dengan ajaran Weda. Bhagawadgita, adyava II, sloka 47,
Karmany eva dhikaras te
ma phalesu kadaçana,
ma karma phala hetur bhur
ma te sango ‘stwa akarmani
 Kewajibanmu kini hanya bertindak, bekerja tiada mengharap hasil, jangan sekali pahala jadi motifmu, jangan pula hanya berdiam diri jadi tujuanmu. Hal ini mengajari kita bahwa hanya berbuat dan berbuat yang menjadi kewajiban kita, bukan hasil dari perbuatan itu. Begitulah sekelumit praktik yadnya secara vertikal (ke atas) pada masa grahasta. Belum lagi yang sifatnya vertikal (ke bawah) dan ke samping (horizontal).
Ke bawah kita mesti bertanggung jawab kepada lingkungan tempat tinggal tempat kerja, tempat melintas, tempat di mana saja kita berada yang mesti turut kita perhatikan dan ikut serta bertanggung jawab di dalamnya.
Ke samping, kepada orang-orang terkasih di sekitar kita, yakni anak. Istri/suami yang mesti kita beri perhatian dan pengorbanan secara penuh ketulusan Pernahkah kita berharap suatu balasan terhadap perbuatan kita membiayai anak? Tentu tidak, sekali lagi tidak. Kita melakukannya dengan sepenuh hati tanpa berharap apapun bagi diri sendiri. Jika kita berharap paling-paling ingin melihat mereka tumbuh dengan baik, berkembang menjadi anak yang suputra.
Menurut Nitisastra, suputra itu sangat utama. Penjelasan Nitisastra tentang suputra adalah sebagai berikut: Orang yang mampu membuat seratus sumur masih kalah keutamaannya dibandingkan orang yang mampu membuat satu waduk. Orang yang mampu membuat seratus waduk kalah keutamaannya dibandingkan dengan orang yang mampu membuat satu yadnya secara lascarya. Dan orang yang mampu membuat seratus yadnya masih kalah keutamaannya dengan orang yang mampu melahirkan seorang anak yang suputra. Demikian keutamaan seorang anak yang suputra.
Malahan dikatakan pula, suputra bisa menyeberangkan orang tuanya dari neraka ke sorga. Perlu diingat bahwa suputra tidak mengacu pada anak laki-laki saja. Semua anak yang dilahirkan, laki perempuan, jika dia berkembang sesuai dharma dialah suputra/putrika.
 Yang sangat perlu menjadi perhatian kita semua berkaitan dengan suputra ini adalah kita harus berbuat sekuat tenaga diiringi dengan doa yang tulus, semoga anak-anak kita tetap berjalan di jalan Dharma, tetap memelihara pura di dalam hatinya. Karena pura yang sesungguhnya adalah yang ada di dalam hati. Pura Jagatnatha , yang letaknya di Mayura ini adalah wujud fisik. Wujud bathinnya ada di dalam hati kita.
Di dalam hati ini, kita juga bisa mendirikan bukan hanya satu pura. Kita juga bisa senantiasa melakukan piodalan terhadap pura di dalam hati kita itu setiap saat. Bukankah makna kata piodalan adalah kehadiran/kelahiran pura? Bila setiap saat makna pura, wujud suci pura dan segala ritualnya yang mesti dilakukan di pura setiap saat hadir di dalam hati, kita bisa memperingatinya. Bukankah salah satu ritual saat piodalan adalah sembahyang? Kalau demikian, amat baik kiranya jika kita juga senantiasa membuat piodalan terhadap pura yang ada di dalam hati kita. Inilah yang harus kita jaga. Kita perlu menjaganya agar jangan sampai anak kita mendirikan tempat ibadah jenis lain di dalam hatinya. Mudah-mudahan kita senantiasa disinari-Nya, agar kita bisa menjadikan anak-anak kita sebagai suputra. Jadi para umat Hindu sedharma kesimpulan Beryadnya pada kontek masa grastha dalam catur asrama ada berbagai bentuk, yaitu:
1.      Beryadnya kepada Ida Sang hyang Widhi Wasa ( Dewa Yadnya)
2.      Beryadnya kepada guru ( Rsi Yadnya)
3.      Beryadnya kepada para leluhur ( Pitra Yadnya)
4.      Beryadnya kepada suami/istri, anak, sesama manusia ( Manusia Yadnya)
5.      Beryadnya kepada bumi pertiwi (Bhuta Yadnya)
Demikian para umat Hindu sedharma yang berbahagia sedikit yang dapat saya sampaikan mengenai yadnya pada kontek masa grastha dalam catur asrama semoga dapat bermanfaat bagi umat Hindu khususnya dan semua umat manusia pada umumnya. Terima Kasih.
Om Shanti Shanti Shanti Om

Tidak ada komentar:

Posting Komentar