BERYADNYA PADA
KONTEK MASA GRASTHA DALAM CATUR ASRAMA
Om swastyastu.
Om Awigna Astu namo sidham, Om
Sidhirrastu Tad Astu astu Svaha.
Om Ano Bhadrah Krawo Yantu Wiswatah.
Om Hyang Widhi wasa, semoga atas
perkenanMu tiada suatu halangan bagi kami memulai menulis ini semoga sukses dan
semoga pikiran baik datang dari segala penjuru pada kami.
Pertama – tama marilah kita menghaturkan puja dan puji syukur
kehadapan Ida Sang HyangWidhi Wasa karena Atas Asungkerta waranugrhaNya, kita
semua telah diberi kesehatan,kekuatan lahir dan batin tak kurang
suatu apapun. Astungkara. Secara umum yadnya
diartikan sebagai pengorbanan yang dilakukan secara tulus dan ikhlas. Apapun
bentuk pengorbanan itu, itulah yadnya. Pengertian ini begitu luas dan memang
sejalan dengan yadnya itu yang juga begitu luas.
Pemahaman yang berkembang selama ini tentang yadnya adalah untuk
menyatakan berbagai bentuk ritual. Bila ada yang melaksanakan upacara
perkawinan, dikatakan sedang me-yadnya. Bila ada yang melaksanakan piodalan
dikatakan sedang melaksanakan yadnya. Pemahaman itu tidak salah dan memang
begitu. Hanya perlu digarisbawahi bahwa pemahaman itu mengalami penyempitan
makna.
Mengapa dikatakan dipersempit? Ya, karena makna yadnya itu demikian
luas. Malahan cinta kasih Sang Hyang Widhi dalam menciptakan alam semesta ini
dikatakan sebagai yadnya, seperti disebutkan dalam Yajur Weda Mantram XXIII.62
“Ayam yajno bhuvanasya
nabhih”. Yadnya adalah pusat terciptanya alam
semesta.
Kemudian pada Atharwa Weda yadnya dikatakan sebagai salah satu unsur
kekuatan yang menyangga bumi, yakni Mantram XX1.1
“Satyam brhta rtam ugram
diksa tapo, brahma yajna prhtivim dharayanti”. Kebenaran,
hukum abadi yang agung, penyucian, pengendalian diri, dan yadnya, inilah yang
menyangga bumi ini.
Masih banyak lagi sloka di dalam catur Weda yang menjelaskan
keuniversalan dan keluasan makna yadnya. Demikian pula dalam pancama Weda
(Bhagawadgita), tak kalah banyaknya sloka yang menyiratkan bahwa yadnya itu
begitu luas. Sudah saatnya kita menggali semua makna itu disertai harapan
secara perlahan-lahan kita coba aplikasikan.
Mari kita tinjau bentuk yadnya apa saja yang ada dalam masa Grastha?
Masa Grastha ini dianggap sebagai masa yang paling kompleks.
Kompleks permasalahannya, kompleks tanggung jawabnya, kompleks juga
kewajibannya.
Mengapa demikian? Ya. Karena pada masa grahasta, seseorang sudah
harus mengurus orang lain, dalam arti orang selain dirinya sendiri. Orang lain
itu adalah pasangan hidupnya (suami/istri), anaknya. Pada masa grastha ini
seseorang sudah dituntut untuk bermasyarakat. Jadi tanggung jawabnya sudah
multi arah (vertikal dan horizontal).
Bagi kita umat Hindu tanggung jawab yadnya masa grhasta meliputi
kelima yadnya yang dipersyaratkan. Yadnya kepada Sang Hyang Widhi (Dewayadnya).
Sepenuh jiwa kita berpasrah di utama mandala saat sembahyang di Pura, dan juga
pada saat-saat penyiapan berbagai sarana upakara ini yang dilakukan di madya
dan nista mandala.
Dalam istilah khusus ngayah makna yadnya diterjemahkan oleh kita semua. Prosesi ngayah ini menerjemahkan makna yadnya secara khas. Kita sudah memaknainya dalam praktik, bahwa dalam ngayah kita sudah beryadnya tanpa ada kepentingan apa pun, kecuali mewujudkan rasa bhakti kita kepada Ida Sang Hyang Widhi. Dalam yadnya dan dalam ngayah kita tak pernah berpamrih apa-apa. Kita hanya berbuat, berbuat. dan berbuat secara bersama-sama. Saling mengisi, saling memberi, saling mengajari dalam pembuatan sarana upakara. Semua itu dilakukan secara lascarya dan setulus-tulusnya. Tidak ada di antara kita yang berharap balasan dalam ngayah.
Dalam istilah khusus ngayah makna yadnya diterjemahkan oleh kita semua. Prosesi ngayah ini menerjemahkan makna yadnya secara khas. Kita sudah memaknainya dalam praktik, bahwa dalam ngayah kita sudah beryadnya tanpa ada kepentingan apa pun, kecuali mewujudkan rasa bhakti kita kepada Ida Sang Hyang Widhi. Dalam yadnya dan dalam ngayah kita tak pernah berpamrih apa-apa. Kita hanya berbuat, berbuat. dan berbuat secara bersama-sama. Saling mengisi, saling memberi, saling mengajari dalam pembuatan sarana upakara. Semua itu dilakukan secara lascarya dan setulus-tulusnya. Tidak ada di antara kita yang berharap balasan dalam ngayah.
Semua yang kita praktikkan dalam ngayah dan yadnya itu sudah sangat
pas dengan ajaran Weda. Bhagawadgita, adyava II, sloka 47,
Karmany eva dhikaras te
ma phalesu kadaçana,
ma karma phala hetur bhur
ma te sango ‘stwa akarmani
Kewajibanmu kini hanya bertindak,
bekerja tiada mengharap hasil, jangan sekali pahala jadi motifmu, jangan pula
hanya berdiam diri jadi tujuanmu. Hal ini mengajari kita bahwa hanya berbuat
dan berbuat yang menjadi kewajiban kita, bukan hasil dari perbuatan itu. Begitulah
sekelumit praktik yadnya secara vertikal (ke atas) pada masa grahasta. Belum
lagi yang sifatnya vertikal (ke bawah) dan ke samping (horizontal).
Ke bawah kita mesti bertanggung jawab kepada lingkungan tempat
tinggal tempat kerja, tempat melintas, tempat di mana saja kita berada yang
mesti turut kita perhatikan dan ikut serta bertanggung jawab di dalamnya.
Ke samping, kepada orang-orang terkasih di sekitar kita, yakni anak.
Istri/suami yang mesti kita beri perhatian dan pengorbanan secara penuh
ketulusan Pernahkah kita berharap suatu balasan terhadap perbuatan kita
membiayai anak? Tentu tidak, sekali lagi tidak. Kita melakukannya dengan
sepenuh hati tanpa berharap apapun bagi diri sendiri. Jika kita berharap
paling-paling ingin melihat mereka tumbuh dengan baik, berkembang menjadi anak
yang suputra.
Menurut Nitisastra, suputra itu sangat utama. Penjelasan Nitisastra
tentang suputra adalah sebagai berikut: Orang yang mampu membuat seratus sumur
masih kalah keutamaannya dibandingkan orang yang mampu membuat satu waduk.
Orang yang mampu membuat seratus waduk kalah keutamaannya dibandingkan dengan
orang yang mampu membuat satu yadnya secara lascarya. Dan orang yang mampu
membuat seratus yadnya masih kalah keutamaannya dengan orang yang mampu
melahirkan seorang anak yang suputra. Demikian keutamaan seorang anak yang
suputra.
Malahan dikatakan pula, suputra bisa menyeberangkan orang tuanya dari neraka ke sorga. Perlu diingat bahwa suputra tidak mengacu pada anak laki-laki saja. Semua anak yang dilahirkan, laki perempuan, jika dia berkembang sesuai dharma dialah suputra/putrika.
Yang sangat perlu menjadi perhatian kita semua berkaitan dengan suputra ini adalah kita harus berbuat sekuat tenaga diiringi dengan doa yang tulus, semoga anak-anak kita tetap berjalan di jalan Dharma, tetap memelihara pura di dalam hatinya. Karena pura yang sesungguhnya adalah yang ada di dalam hati. Pura Jagatnatha , yang letaknya di Mayura ini adalah wujud fisik. Wujud bathinnya ada di dalam hati kita.
Malahan dikatakan pula, suputra bisa menyeberangkan orang tuanya dari neraka ke sorga. Perlu diingat bahwa suputra tidak mengacu pada anak laki-laki saja. Semua anak yang dilahirkan, laki perempuan, jika dia berkembang sesuai dharma dialah suputra/putrika.
Yang sangat perlu menjadi perhatian kita semua berkaitan dengan suputra ini adalah kita harus berbuat sekuat tenaga diiringi dengan doa yang tulus, semoga anak-anak kita tetap berjalan di jalan Dharma, tetap memelihara pura di dalam hatinya. Karena pura yang sesungguhnya adalah yang ada di dalam hati. Pura Jagatnatha , yang letaknya di Mayura ini adalah wujud fisik. Wujud bathinnya ada di dalam hati kita.
Di dalam hati ini, kita juga bisa mendirikan bukan hanya satu pura.
Kita juga bisa senantiasa melakukan piodalan terhadap pura di dalam hati kita
itu setiap saat. Bukankah makna kata piodalan adalah kehadiran/kelahiran pura?
Bila setiap saat makna pura, wujud suci pura dan segala ritualnya yang mesti
dilakukan di pura setiap saat hadir di dalam hati, kita bisa memperingatinya.
Bukankah salah satu ritual saat piodalan adalah sembahyang? Kalau demikian,
amat baik kiranya jika kita juga senantiasa membuat piodalan terhadap pura yang
ada di dalam hati kita. Inilah yang harus kita jaga. Kita perlu menjaganya agar
jangan sampai anak kita mendirikan tempat ibadah jenis lain di dalam hatinya.
Mudah-mudahan kita senantiasa disinari-Nya, agar kita bisa menjadikan anak-anak
kita sebagai suputra. Jadi para umat Hindu sedharma kesimpulan Beryadnya pada
kontek masa grastha dalam catur asrama ada berbagai bentuk, yaitu:
1.
Beryadnya kepada Ida Sang hyang
Widhi Wasa ( Dewa Yadnya)
2.
Beryadnya kepada guru ( Rsi
Yadnya)
3.
Beryadnya kepada para leluhur (
Pitra Yadnya)
4.
Beryadnya kepada suami/istri,
anak, sesama manusia ( Manusia Yadnya)
5.
Beryadnya kepada bumi pertiwi
(Bhuta Yadnya)
Demikian para umat Hindu sedharma yang berbahagia sedikit yang dapat
saya sampaikan mengenai yadnya pada kontek masa grastha dalam catur asrama semoga
dapat bermanfaat bagi umat Hindu khususnya dan semua umat manusia pada umumnya.
Terima Kasih.
Om Shanti Shanti Shanti Om
Tidak ada komentar:
Posting Komentar